Monthly Archives: August 2010

Sejuta Bahagia Sahur On The Road

Oleh Fitria Andayani

Saya jadi lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Tuhan selama ini’.

Pukul 02.00. Dengan menahan kantuk, Seiful Huda (22 tahun) berusaha tetap terjaga. Setelah mengenakan jaketnya, Seiful memulai aksi berperang dengan dinginnya udara malam di Bandung yang meretas hingga tulang. Hari itu dia siap bertemu dengan orang-orang jalanan. “Saya dan teman-teman mau sahur on the road ,” katanya.

Di bulan Ramadhan seperti saat ini, aktivitas sahur  on the road kerap terdengar. Seperti namanya, inilah kegiatan bersahur yang diadakan di jalanan. Namun, bukan sekadar berlomba-lomba berkendara, aktivitas ini merupakan ajang memberi makan sahur untuk para fakir miskin yang tinggal di jalanan. “Kami memberi mereka nasi kotak. Setidaknya nasi tersebut bisa mengatasi rasa lapar mereka,” ujar mahasiswa tingkat akhir Jurusan Teknik Geofisika, Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Tak hanya Seiful, Ma’mun Salman juga kerap berbagi rezeki dengan para orang jalanan saat sahur di bulan Ramadhan. Bahkan kegiatan itu dilakoninya hingga di luar Ramadhan.

Kegiatan tersebut awalnya tak sengaja dilakukannya. “Saat itu saya menjadi panitia buka puasa buat warga sekitar Masjid Salman ITB,” katanya. Acara tersebut berjalan lancar, namun banyak sekali sisa makanan. Akhirnya, Ma’mun dan teman-temannya berinisiatif menyebar makanan tersebut untuk orang-orang jalanan. Saat membagi-bagikan makanan itu, Ma’mun merasa miris sekali. Banyak sekali dia bertemu gelandangan yang keadaannya memprihatinkan. “Seperti sudah lama tidak makan,” katanya.

Pengalaman tersebut menggelitik hati nuraninya. Makanya, saat memulai bisnis katering, alumnus ITB ini juga mengagendakan acara-acara sosial semacam itu termasuk sahur  on the road setiap bulan Ramadhan. Dananya diambil dari keuntungan yang ada. Selain membagi-bagikan makanan, Ma’mum juga memberikan susu, obat, baju hangat, bahkan mukena kepada orang-orang yang hidup di jalanan.

Dari dana pribadinya, Ma’mum menyediakan 150 paket nasi kotak yang siap diedarkan kepada para orang jalanan. “Namun, kadang ada juga teman yang menitip sumbangannya ke saya,” katanya. Bahkan, banyak juga yang menyumbangkan pakaian layak pakai untuk dibagikan.

Cerita Seiful nyaris serupa. Biasanya, ada 250 kotak nasi dan air mineral yang dibagi-bagikan Seiful dan teman-temannya saat mengikuti acara sahur jalanan itu. “Makanan tersebut kami bagi-bagikan di jalan-jalan besar di Bandung seperti Jalan Riau, Buah Batu, Kosambi, dan Asia Afrika,” katanya.

Miris

Bagi Seiful, aktivitas sahur  on the road telah membuka matanya bahwa begitu banyak orang yang kurang beruntung di negeri ini. “Mereka tidak punya tempat tinggal. Hanya bisa tidur di trotoar beralas kardus atau kain spanduk bekas,” ujarnya.

Yang paling membuat Seiful miris adalah di antara sekian banyak gelandangan tersebut terdapat anak-anak kecil. “Mereka hidup dan tumbuh sendiri di jalanan tanpa orang tua,” katanya.

Ma’mun merasakan hal serupa. ”Di saat orang lain bisa makan dengan layak dan tidur dengan nyaman di kasur, ada manusia lain yang harus tidur dalam kondisi lapar,” katanya.

Banyak anak yang tetap terjaga menunggu makanan yang entah datang dari mana. “Banyak orang yang tidur di dalam karung di pinggir tempat sampah,” ujarnya. Bahkan Ma’mun pernah bertemu dengan wanita hamil delapan bulan yang tidur di dalam karung tanpa suami.

Kegiatan sahur  on the road ini juga mengubah cara pandangnya terhadap hidup. “Saya jadi lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Tuhan selama ini kepada saya,” ujarnya. Dia jadi sadar begitu pentingnya saling berbagi dengan sesama. “Setidaknya bisa memberikan kebahagiaan kepada orang-orang di sekitar kita,” ujarnya. ed: endah hapsari

Curiga dan Marah-marah

Ternyata, acara sahur  on the road tak selalu disambut baik oleh para ‘penghuni’ jalanan. ”Mereka mudah curiga,” ujar Ma’mun Salman. Rupanya, ada saja yang menolak diberi makanan, obat, atau suplemen. “Mereka takut di dalam bantuan itu ada racunnya,” ujarnya. Mereka memang tidak mengada-ada. Beberapa orang gelandangan pernah bertemu dengan orang yang berpura-pura baik, tetapi malah berusaha membunuh mereka.

Biasanya bila bertemu dengan orang-orang seperti itu, Ma’mun hanya akan melempar senyuman. “Agar mereka tidak takut,” katanya. Sulit juga berkomunikasi dan menjelaskan niat baiknya kepada para gelandangan yang sudah kadung curiga. “Mereka menutup diri. Hanya duduk di pojokan dan tidak mau diajak bicara,” katanya. Kalau sudah begitu, Ma’mun hanya akan menaruh nasi kotak tersebut sambil berharap si gelandangan mau memakan makanan yang diberikan.

Ada juga gelandangan yang menolak pemberian tersebut dengan marah-marah. “Kalau yang begitu, biasanya ditinggal saja,” katanya. Alih-alih tersinggung, Ma’mun bisa mengerti kemarahan si gelandangan itu. “Kemarahan mereka wajar,” katanya. Mereka lanjut Ma’mun, hidup dengan banyak tekanan, sehingga mudah sekali emosi.

Tapi, ada juga orang yang meminta jatah nasi kotak itu meski sebenarnya dia tak layak. Satu ketika Ma’mum bertemu dengan seorang pria yang punya motor, tetapi malah ikut meminta jatah. “Dia menghentikan motornya saat kami sedang membagikan makanan. Lalu tanpa membuka helmnya, dia ikut berebut makanan dengan para gelandangan. Memalukan.”


Kisah Pemulung Baik Hati

Saat membagi-bagikan makanan sahur, Seiful Huda dan Ma’mun Salman menemukan beragam kisah yang tak akan ditemui dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang sulit berbahasa Indonesia, ada juga yang mengungkap banyak kisah menarik sepanjang hidupnya di jalanan. “Saya suka mendengar cerita-cerita mereka. Mereka punya banyak kisah menarik,” kata Ma’mun.

Satu di antara kisah yang paling diingat Ma’mun adalah ketika berinteraksi dengan para gelandangan. Suatu saat dia dipertemukan dengan seorang pemulung yang luar biasa baik. Dia lebih mementingkan baju dan makanan untuk temen gelandangan lain dibandingkan untuknya sendiri. “Sampai-sampai dia tidak kebagian baju dan makanan karena sibuk membagikannya kepada yang lain,” kisahnya.

Pemulung itu, lanjut Ma’mun, memang sangat dihormati oleh gelandangan yang lainnya. “Menariknya saat saya mengunjunginya lagi terakhir kali, dia sudah punya rumah kecil dan berjualan di pinggir jalan. Dia tidak jadi gelandangan lagi,” katanya.

Pada mereka, Ma’mun selalu berusaha memberi semangat. “Saya minta mereka banyak bersabar dan berusaha lebih keras untuk mengubah hidupnya jadi lebih baik,” tuturnya.

Ma’mun juga berharap mereka dapat memahami makna dari barang-barang yang disumbangkan kepadanya. “Paling tidak lewat mukena dan sarung yang saya berikan, mereka bisa mengerti kalau saya menyuruh mereka untuk tidak lupa shalat.”

Sumber